Jumat kristus & bebs becak jumat kristus & bebas becak
KETENANGAN Yogya kadang-kadang bisa memperdaya. 12 April. malam yang lalu seorang tukang beca terbunuh. Namanya Mujiyono, 5 tahun, dan ia tewas ditikam ujung badik dalam perkelahian dengan 3 pemuda pengikut kursus kader PUTL. Tiga pemuda itu, dua dari Sulawesi Tengah dan satu dari Sumatera Barat, kemudian ditahan polisi. Tapi yang tak bisa ditahan polisi ialah menjalarnya desas-desus dan kemarallan. Dengan semangat setiakawan yang terkenal di kalangan tukang beca, dibumbui oleh sentimen kesukuan terhadap orang "seberang", suasana menjalar mencari klimaksnya sendiri. Mujiono dikuburkan. dan Jum'at sore itu para tukang beca berdemonstrasi untuk menuntut balas. Mula-mula hanya asrama tempat kursus kader PUTL itu saja yang didatangi, tapi kemudian berturut-turut mereka tampil di depan asrama mahasiswa-mahasiswa dari Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, di antara teriakan terdengar suara "Gantung Pembunuh Mujiono !" dan juga: "Hancurkan Sumatra !". Sudah tentu sulit untuk menghancurkan Sumatra, tapi tidak terlalu sulit untuk menyerang asrama Tanjung Raya, sebuah gedung yang ditempati para mahasiswa dari Sumatera Barat. Rabu tengah malam,
Seminggu kemudian, diperkirakan 250 orang menyerbu asrama itu. Begitu peluit entah dari mana terdengar, batang-batang pohon pepaya yang ditebang di sekitar asrama itu dilemparkan. Kaca-kaca pecah ketika para penghuni tengah lelap tidur. Dua mahasiswa, Asril (20 tahun) dan Jusmar (24 tahun), ditangkap dan dicincang, remuk, tewas. Untunglah asap yang mengepul mengundang patroli, yang kemudian datang dan berhasil mengatasi keadaan -- walaupun korban telah jatuh, di antaranya seorang tukang jahit asal Minang yang waktu itu berada di asrama dan dapat sial: ia luka-luka berat. Yang berwajib dikabarkan malam itu juga berhasil menahan 46 orang penyerbu. UGM. Dalam cuaca mendung yang memberat hari Kamis sore, 2 jenazah mahasiswa yang tak bersalah itu dikebumikan di pemakaman Universitas Gajah Mada (UGM) di Sendowo, Sekip. Hadir dalam upacara duka itu Rektor Suroso dan Prof. Ramlan Mochtar dari Universitas Islam Indonesia (UII), karena yang tewas adalah mahasiswa mereka. Juga hadir Komandan Kodim. "Mudah-mudahan kejadin semacam ini tidak terulang lagi", kata Rektor UGM. Ucapan itu sudah selayaknya, sebab memang bukan hanya kali itu saja kota Yogya salah satu pusat pendidikam bekas ibukota Republik dan sebuah sentrum kebudayaan Jawa yang adiluhung - menyaksikan perkelahian antar suku yang seru.
Di masa-masa yang lampau peristiwa semacam telah terjadi, dan selalu dengan korban. Sore itu pun, setelah pemakaman Asril dan Jusmar hampir saja kekerasan massal berulang. 200 mahasiswa yang berkabung bergerak dan menyebarkan pamflet serta membawa poster. "Teror Dibalas Apa?", salah satu poster bertanya - dan tanpa jawab. Para demonstran sendiri nampaknya tak bermaksud mengadakan balasan "kontra-teror", sebab mereka berjalan tertib. Tapi ketika tiba-tiba terdengar suara. "Aduh, saya kena!", tanpa menilik siapa yang berteriak, rombongan jadi meledak. Etalase kira-kira 30 toko sepanjang Malioboro mereka rusak, dua becak mereka bakar dan beberapa yang lain digulingkan. Seraya menuju ke kantor polisi Komresko, kaca-kaca jendela Kejaksaan Negeri mereka lempari batu juga. Kelalaian. Seperti halnya para tukang becak sebelumnya mendatangi polisi untuk meminta keadilan atas terbunuhnya kolega mereka, kini para mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Mereka ingin melihat para tahanan polisi yang disangka ikut melakukan penyerbuan ke asrama Tanjung Raya. Permintaan ini ditolak. Adakah semua itu menunjukkan rasa tidak puas mereka terhadap tindakan pengamanan yang dilakukan fihak polisi? Agaknya begitu. Tapi seperti yang dikatakan Humas Komresko kepada Hermansjah Nz. dari TEMPO masalah seperti ini memang berat untuh segera diatasi. "Oknum-oknum penggeraknya sedang kita cari", katanya. Meskipun dirasakan lamban, namun harus diakui bahwa yang berwajib telah berusaha menertibkan keadaan. Sejak penguburan Mujiyono si tukang becak seminggu sebelumnya, polisi berhasil mencegah demonstrasi tukang beca di beberapa asrama mahasiswa kecuali menjaga asrama Tanjung Raya tengah malam itu. Kekecualian, atau kelalaian itu, memang terasa, mengingat desas-desus berkecamuk di Yogya dalam temperatur tinggi. Penyerbuan Tanjung Raya sebelumnya didahului oleh kabar bahwa seorang tukang beca telah ditikam lagi, meskipun ternyata kabar itu tidak benar. Desas-desus selanjutnya bahwa telah tiba pelajar dan mahasiswa dari Solo, Magelang dan bahkan Bandung, bahwa tukang beca bersiap di sana atau di sini - telah menyebabkan hari Jum'at 20 April, hari wafat Kristus menjadi Jum'at yang sepi dan bebas beca. Pelawak.
Untunglah, biar nasi sudah jadi bubur yang berdarah, banyak fihak berusaha meredakan suasana. Setelah kejadian kaca pecah di Malioboro, organisasi-organisasi mahasiswa luar Jawa mengeluarkan pernyataan mohon maaf. Yang berwajib mengadakan konsultasi dengan para pemilik beca, beberapa kelompok tukang beca dan tokoh-tokoh pelajar luar Jawa, dan RRI Yogya menyiarkan seruan. Muspida - ditandatangani oleh Sri Paku Alam -- mengharapkan masyarakat tenang. Tapi sementara itu beberapa pertanyaan belum terjawab: benarkah insiden itu "ditunggangi" dan dilakukan oleh bekas tahanan politik Gol. C - alias PKI "ringan" - seperti yang dinyatakan AKBP Jatiman dari Komesko 961 dan disiarkan pers Yogya? Ataukah sutradara-sutradaranya sebenarnya bandit-bandit Yog ya, seperti yang dinyatakan oleh sebuah sumber yang layak dipercaya kepada TEMPO? Dan bagaimanakah peran Junaedi, bekas tukang beca yang jadi pelawak tersohor di Yogya dari rombongan "G-2-S", yang menurut sebagian orang jadi tokoh penggerak tukang beca tapi menurut sebagian orang lain ia merupakan "orang yang dipasang alat negara di kalangan tukang beca"? Yang juga mungkin perlu dicari jawabnya ialah bagaimana menghindarkan peristiwa yang tidak baru itu berulang lagi di waktu mendatang. Soal-soal kesukuan, bergabung dengan ketidak-puasan sosial-ekonomi, begitu gampang meledak.
KETENANGAN Yogya kadang-kadang bisa memperdaya. 12 April. malam yang lalu seorang tukang beca terbunuh. Namanya Mujiyono, 5 tahun, dan ia tewas ditikam ujung badik dalam perkelahian dengan 3 pemuda pengikut kursus kader PUTL. Tiga pemuda itu, dua dari Sulawesi Tengah dan satu dari Sumatera Barat, kemudian ditahan polisi. Tapi yang tak bisa ditahan polisi ialah menjalarnya desas-desus dan kemarallan. Dengan semangat setiakawan yang terkenal di kalangan tukang beca, dibumbui oleh sentimen kesukuan terhadap orang "seberang", suasana menjalar mencari klimaksnya sendiri. Mujiono dikuburkan. dan Jum'at sore itu para tukang beca berdemonstrasi untuk menuntut balas. Mula-mula hanya asrama tempat kursus kader PUTL itu saja yang didatangi, tapi kemudian berturut-turut mereka tampil di depan asrama mahasiswa-mahasiswa dari Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, di antara teriakan terdengar suara "Gantung Pembunuh Mujiono !" dan juga: "Hancurkan Sumatra !". Sudah tentu sulit untuk menghancurkan Sumatra, tapi tidak terlalu sulit untuk menyerang asrama Tanjung Raya, sebuah gedung yang ditempati para mahasiswa dari Sumatera Barat. Rabu tengah malam,
Seminggu kemudian, diperkirakan 250 orang menyerbu asrama itu. Begitu peluit entah dari mana terdengar, batang-batang pohon pepaya yang ditebang di sekitar asrama itu dilemparkan. Kaca-kaca pecah ketika para penghuni tengah lelap tidur. Dua mahasiswa, Asril (20 tahun) dan Jusmar (24 tahun), ditangkap dan dicincang, remuk, tewas. Untunglah asap yang mengepul mengundang patroli, yang kemudian datang dan berhasil mengatasi keadaan -- walaupun korban telah jatuh, di antaranya seorang tukang jahit asal Minang yang waktu itu berada di asrama dan dapat sial: ia luka-luka berat. Yang berwajib dikabarkan malam itu juga berhasil menahan 46 orang penyerbu. UGM. Dalam cuaca mendung yang memberat hari Kamis sore, 2 jenazah mahasiswa yang tak bersalah itu dikebumikan di pemakaman Universitas Gajah Mada (UGM) di Sendowo, Sekip. Hadir dalam upacara duka itu Rektor Suroso dan Prof. Ramlan Mochtar dari Universitas Islam Indonesia (UII), karena yang tewas adalah mahasiswa mereka. Juga hadir Komandan Kodim. "Mudah-mudahan kejadin semacam ini tidak terulang lagi", kata Rektor UGM. Ucapan itu sudah selayaknya, sebab memang bukan hanya kali itu saja kota Yogya salah satu pusat pendidikam bekas ibukota Republik dan sebuah sentrum kebudayaan Jawa yang adiluhung - menyaksikan perkelahian antar suku yang seru.
Di masa-masa yang lampau peristiwa semacam telah terjadi, dan selalu dengan korban. Sore itu pun, setelah pemakaman Asril dan Jusmar hampir saja kekerasan massal berulang. 200 mahasiswa yang berkabung bergerak dan menyebarkan pamflet serta membawa poster. "Teror Dibalas Apa?", salah satu poster bertanya - dan tanpa jawab. Para demonstran sendiri nampaknya tak bermaksud mengadakan balasan "kontra-teror", sebab mereka berjalan tertib. Tapi ketika tiba-tiba terdengar suara. "Aduh, saya kena!", tanpa menilik siapa yang berteriak, rombongan jadi meledak. Etalase kira-kira 30 toko sepanjang Malioboro mereka rusak, dua becak mereka bakar dan beberapa yang lain digulingkan. Seraya menuju ke kantor polisi Komresko, kaca-kaca jendela Kejaksaan Negeri mereka lempari batu juga. Kelalaian. Seperti halnya para tukang becak sebelumnya mendatangi polisi untuk meminta keadilan atas terbunuhnya kolega mereka, kini para mahasiswa juga melakukan hal yang sama. Mereka ingin melihat para tahanan polisi yang disangka ikut melakukan penyerbuan ke asrama Tanjung Raya. Permintaan ini ditolak. Adakah semua itu menunjukkan rasa tidak puas mereka terhadap tindakan pengamanan yang dilakukan fihak polisi? Agaknya begitu. Tapi seperti yang dikatakan Humas Komresko kepada Hermansjah Nz. dari TEMPO masalah seperti ini memang berat untuh segera diatasi. "Oknum-oknum penggeraknya sedang kita cari", katanya. Meskipun dirasakan lamban, namun harus diakui bahwa yang berwajib telah berusaha menertibkan keadaan. Sejak penguburan Mujiyono si tukang becak seminggu sebelumnya, polisi berhasil mencegah demonstrasi tukang beca di beberapa asrama mahasiswa kecuali menjaga asrama Tanjung Raya tengah malam itu. Kekecualian, atau kelalaian itu, memang terasa, mengingat desas-desus berkecamuk di Yogya dalam temperatur tinggi. Penyerbuan Tanjung Raya sebelumnya didahului oleh kabar bahwa seorang tukang beca telah ditikam lagi, meskipun ternyata kabar itu tidak benar. Desas-desus selanjutnya bahwa telah tiba pelajar dan mahasiswa dari Solo, Magelang dan bahkan Bandung, bahwa tukang beca bersiap di sana atau di sini - telah menyebabkan hari Jum'at 20 April, hari wafat Kristus menjadi Jum'at yang sepi dan bebas beca. Pelawak.
Untunglah, biar nasi sudah jadi bubur yang berdarah, banyak fihak berusaha meredakan suasana. Setelah kejadian kaca pecah di Malioboro, organisasi-organisasi mahasiswa luar Jawa mengeluarkan pernyataan mohon maaf. Yang berwajib mengadakan konsultasi dengan para pemilik beca, beberapa kelompok tukang beca dan tokoh-tokoh pelajar luar Jawa, dan RRI Yogya menyiarkan seruan. Muspida - ditandatangani oleh Sri Paku Alam -- mengharapkan masyarakat tenang. Tapi sementara itu beberapa pertanyaan belum terjawab: benarkah insiden itu "ditunggangi" dan dilakukan oleh bekas tahanan politik Gol. C - alias PKI "ringan" - seperti yang dinyatakan AKBP Jatiman dari Komesko 961 dan disiarkan pers Yogya? Ataukah sutradara-sutradaranya sebenarnya bandit-bandit Yog ya, seperti yang dinyatakan oleh sebuah sumber yang layak dipercaya kepada TEMPO? Dan bagaimanakah peran Junaedi, bekas tukang beca yang jadi pelawak tersohor di Yogya dari rombongan "G-2-S", yang menurut sebagian orang jadi tokoh penggerak tukang beca tapi menurut sebagian orang lain ia merupakan "orang yang dipasang alat negara di kalangan tukang beca"? Yang juga mungkin perlu dicari jawabnya ialah bagaimana menghindarkan peristiwa yang tidak baru itu berulang lagi di waktu mendatang. Soal-soal kesukuan, bergabung dengan ketidak-puasan sosial-ekonomi, begitu gampang meledak.
0 komentar:
Posting Komentar